Wednesday, 15 April 2015

Pelajaran Dalam Bisbol

Selalu ada dua pilihan, dua jalan untuk ditempuh.
Yang satu mudah. Dan ganjarannya hanyalah bahwa pilihan itu mudah
Anonim



Sebagai anak berusia 11 tahun, aku kecanduan bisbol. Aku mendengarkan jalannya pertandingan di radio. Aku menontonnya di TV. Buku yang kubaca hanyalah buku tentang bisbol. Aku membawa kartu bisbol ke gereja, berharap dapat menukarnya dengan pecandu kartu bisbol lain. Khayalanku? Menyangkut bisbol juga.
Aku bermain bisbol di mana pun dan kapan pun. Aku bermain di klub resmi atau di lapangan biasa. Aku bermain lempar-lemparan bola dengan kakakku, dengan ayahku, dengan teman-teman. Kalau semua itu gagal, aku memantul-mantulkan bola karet di tangga beranda, mengkhayalkan segala hal yang bagus tentang aku dan timku.
Dengan sikap inilah aku memasuki kompetisi liga kecil 1956. Aku seorang shortstop. Tidak bagus, tidak jelek. Hanya kecanduan.
Gordon tidak kecanduan. Dia pun bukan pemain yang bagus. Ia pindah ke kompleks kami tahun itu dan mendaftar menjadi anggota tim bisbol. Cara yang paling baik hati untuk menggambarkan keterampilan bermain bisbol Gordon adalah bahwa ia tak berbakat sama sekali. Ia tak dapat menangkap bola. Ia tak bisa melemparnya. Ia tak bisa berlari.
Malah, Gordon takut bola.
Aku lega waktu Gordon dimasukan ke tim lain dalam seleksi terakhir. Semua orang harus bermain setidaknya setengah pertandingan setiap kali, dan aku tak melihat Gordon dapat memperbaiki kesempatan menang timku dalam cara apapun. Sungguh sial tim itu.
Setelah dua minggu latihan, Gordon berhenti. Teman-temanku dalam timnya tertawa waktu mereka menceritakan bagaimana pelatih mereka menyuruh dua pemain yang lebih baik dalam tim itu untuk mengajak Gordon ke hutan dan berbicara padanya. “Menyingkirlah” adalah pesan yang disampaikan, dan “menyingkirlah” adalah kata yang didengarnya.
Gordon menyingkir.
Skenario itu melanggar rasa keadilan usia 11 tahunku, dan aku melakukan apa yang akan dilakukan pemain shortstop manapun jika marah. Aku mengadu. Aku menceritakan seluruh cerita itu kepada pelatihku. Aku menceritakan episode itu secara terinci, menduga pelatihku akan mengeluh ke kantor Liga sehingga Gordon dikembalikan ke timnya yang asli. Kesempatan timku untuk menang dan keadilan akan ditegakkan.
Aku salah. Pelatihku memutuskan bahwa Gordon harus ada di tim yang menginginkannyatim yang memperlakukannya dengan hormat, tim yang memberi kesempatan adil pada setiap orang untuk berperan sesuai dengan kemampuannya.
Gordon menjadi anggota timku.
Andai saja aku bisa mengatakan bahwa Gordon berhasil me-mukul dalam pertandingan utama dengan dua out dalam inning terakhir, tapi itu tak terjadi. Rasanya Gordon tak berhasil memukul bola selama musim itu. Bola yang melaju ke arahnya (lapangan kanan) melintasinya, melewatinya, melaluinya, atau men-jauh darinya.
Bukannya Gordon tak dibantu. Pak pelatihnya memberinya latihan memukul tambahan dan melatihnya menangkap bola, semuanya tanpa kemajuan yang berarti.
Aku tak tahu pasti apakah Gordon belajar sesuatu dari pelatihku tahun itu. Tapi aku tahu aku belajar. Aku belajar memukul tanpa memecah perhatianku. Aku belajar menangkap bola secara kilat. Aku belajar berputar lebih mulus di bis kedua dalam double play.
Aku belajar banyak dari pelatihku musim panas itu, tapi pelajaran yang terpenting tidak menyangkut bisbol. Pelajaran itu tentang kepribadian dan kejujuran. Aku belajar bahwa setiap orang itu berharga, baik yang bisa memukul .300 maupun .030. Aku belajar bahwa kami semua punya nilai, baik yang dapat menghentikan bola maupun yang harus berputar dan mengejarnya. Aku belajar bahwa melakukan hal yang benar, jujur, dan terhormat itu lebih penting dari pada menang atau kalah.
Aku senang menjadi anggota tim itu tahun itu. Aku bersyukur orang itu adalah pelatihku. Aku bangga menjadi shortstop-nya dan anaknya



Chick Moorman

No comments:

Post a Comment