Sunday, 5 April 2015

Teman Hidup



Saya sering menceritakan kepada anak perempuan saya, Lauren, kisah pertemuan saya dan ayahnya, dan juga tentang masa pacaran kami. Sekarang saat dia berusia 16 tahun, dia cemas karena dia menyadari bahwa teman hidupnya mungkin yang duduk di sebelahnya dalam kelas, atau mungkin yang mengajaknya berkencan, tapi dia belum siap untuk membuat komitmen sebagaimana yang dilakukan kedua orangtuanya belasan tahun yang lalu.
Saya berkenalan dengan Mike pada tanggal 9 oktober 1964. Mata kami berpandangan malu-malu dari kedua ujung beranda dipesta Andrea, teman kami. Kami saling tersenyum dan akhirnya kami berdua mengobrol semalaman, tanpa diganggu orang lain. Usia saya waktu itu 11 tahun dan Mike 12 tahun. Kami resmi berpacaran tiga hari kemudian, dan putus setelah melewati masa sebulan yang kacau.
Berbulan-bulan kemudian, Mike masih mengundang saya hadir diupacara perayaan bar mitzvah (penobatan anak yahudi berusia 13 tahun menjadi orang dewasa dengan segala tanggung jawabnya), dan bahkan mengajak saya berdansa. Bertahun-tahun kemudian, dia mengatakan bahwa meskipun waktu itu saya memakai kawat gigi, kaki saya kurus, dan rambut saya melambai-lambai, dia menganggap saya cantik.
Mike dan saya punya banyak teman yang sama dan kelompok main kami di sekolah pun sama sehingga kami sering bertemu selama beberapa tahun berikutnya. Setiap kali saya memutuskan pacar saya atau patah hati, ibu saya saya selalu berkata, ”Jangan khawatir, nanti kamu jadi juga dengan Mike Leb.“ Saya selalu menjerit, “Tidak! kenapa sih mama selalu bilang begitu?” Mama kemudian mengingatkan saya bahwa saya seiring menyebut-nyebut Mike saat saya mengobrol dan bahwa Mike seorang anak yang baik.
Akhirnya, saya masuk SMU, dan sekolah itu penuh dengan pemuda tampan. Saya sudah siap. Peduli amat kalau Mike mulai berkencan dengan sahabat saya. Tapi, saya bertanya dalam hati, mengapa hal ini lambat laun membuat saya gelisah? Mengapa kami jadi sering mengobrol saat menunggu bus? Saya tak akan pernah lupa sepatu biru laut yang sering dipakainya. Setahu saya, tak ada pemuda lain yang punya sepatu sekeren itu. Saya sering teringat akan kata-kata ibu saya, tetapi saya masih ingin menghapusnya.
Sampai musim panas waktu kami naik ke kelas sepuluh, saya dan Mike sudah sering bersama-sama―ditemani pacarnya, yang juga sahabat saya, dan teman-teman lainnya. Pada musim panas itu, Mike mengikuti program bahasa Spanyol di Meksiko. Ternyata saya rindu padanya. Waktu dia pulang pada bulan Agustus, dia menelepon dan mampir ke rumah. Dia tampak sangat menawan dengan kulitnya yang terbakar matahari, dan sikapnya yang bersahaja. Dia masih belum bisa berbahasa Spanyol sepatah katapun, tapi dia kelihatan keren sekali. Waktu itu tanggal 19 Agustus 1968, saat kami berpandangan diluar rumah saya dan kami sadar bahwa kami memang ditakdirkan untuk bersatu. Tentu saja kami harus menunggu sampai usainya kencan saya dengan seorang pemuda pada malam itu. Saya mengatakan kepada teman kencan saya bahwa saya akan mulai berpacaran dengan Mike sehingga saya harus cepat pulang. Kemudian, Mike berkata pada pacarnya yang kadang putus kadang bersambung itu, bahwa mereka putus lagi, dan kali ini untuk selamanya.
Setelah lulus SMU, saya melanjutkan kuliah. Saya hanya tahan 10 minggu di universitas itu, lalu pindah ke universitas yg lebih dekat kerumah supaya bisa selalu berdekatan dengan Mike. Pada tanggal 18 Juni 1972, kami menikah. Usia saya 19, dan Mike 20. kami membangun sarang cinta kami di asrama untuk mahasiswa yg sudah menikah sambil bersama-sama menyelesaikan kuliah. Saya menjadi guru pendidikan khusus, sementara Mike melanjutkan ke sekolah kedokteran.
Sekarang, 25 tahun kemudian, saya tersenyum pada anak perempuan kami yang cantik, Lauren, dan anak lelaki yang tampan, Alex. Meskipun warisan orangtua mereka mengubah pandangan mereka tentang jalinan cinta di SMU, mereka tak akan pernah khawatir orang tua mereka berkata, “Jangan terlalu dipikirkan, itu hanya cinta monyet!”


Fran Leb
(Chicken Soup, for the Teenage Soul)

No comments:

Post a Comment