Berbaik hatilah, karena semua orang yang kau temui sedang berjuang dalam pertempuran yang lebih sulit
Aku tak tahu pasti bagaimana Jesse bisa berada di klinikku. Sepertinya usianya belum cukup untuk menyetir, meskipun tubuhnya sudah mulai tumbuh dan gerakanya lentur seperti layaknya seorang pemuda. Wajahnya jujur dan terbuka.
Waktu aku masuk ke ruang tunggu, Jesse sedang membelai kucingnya dengan penuh kasih sayang melalui pintu keranjang yang terbuka di pangkuannya. Seperti anak sekolahan yang percaya pada seorang dokter, ia membawa kucingnya yang sakit padaku agar disembuhkan.
Kucing itu kecil, bentuknya indah, kepalanya lembut, dan warnanya bagus. Usianya tampaknya sekitar 15 tahun. Dapat kulihat bagaimana bintik dan garisnya dan wajahnya yang cerah dan galak menimbulkan bayangan harimau dalam pikiran seorang anak, maka Tigress (harimau betina)-lah namanya.
Usia telah meredupkan api hijau cerah di matanya dan matanya sudah tidak berbinar lagi, tapi ia masih anggun dan tenang. Ia menyapaku dengan menggosokkan tubuhnya pada tanganku.
Aku mulai bertanya untuk mengetahui apa yang membawa keduanya menemuiku. Tidak seperti kebanyakan orang dewasa, anak remaja itu menjawab dengan langsung dan sederhana. Selera makan Tigress memburuk akhir-akhir ini, dan ia mulai muntah beberapa kali sehari. Sekarang ia tidak mau makan sama sekali, menarik diri dan murung. Beratnya juga turun setengah kilogram―itu penurunan yang cukup banyak untuk berat badan yang Cuma tiga kilogram.
Sambil membelai Tigress, aku memuji kecantikannya sambil memeriksa mata dan mulutnya, mendengarkan jantung dan paru-parunya, dan meraba perutnya. Lalu aku menemukannya: gumpalan di perut tengah. Dengan sopan, Tigress mencoba menyelinap kabur. Ia tak suka gumpalan itu diraba.
Aku memandang remaja berwajah segar itu, lalu kembali ke kucing yang mungkin sudah dimilikinya sejak kecil. Aku harus mengatakan padanya bahwa teman kesayangannya itu memiliki tumor. Bahkan jika tumornya diangkat melalui operasi, masa hidup Tigress mungkin kurang dari setahun lagi, dan mungkin memerlukan kemoterapi mingguan agar dapat bertahan selama itu.
Semua itu pasti sulit dan mahal. Jadi, aku harus mengatakan padanya bahwa kucingnya mungkin akan mati. Dan ia disana, sendirian.
Tampaknya ia akan mendapatkan salah satu pelajaran kehidupan yang paling sulit: bahwa kematian akan menimpa semua makhluk hidup. Kematian adalah bagian kehidupan yang selalu ada. Pengalaman menghadapi kematian yang pertama kali dapat membentuk kepribadian, dan tampaknya akulah yang harus menuntunnya menghadapi kematian yang pertama. Hal ini harus dilakukan dengan sempurna, atau perasaannya akan terluka dan berbekas.
Mungkin lebih mudah untuk menghindar dari tugas itu dan memanggil orangtuanya. Tapi saat aku memandang wajahnya, aku tak dapat melakukannya. Ia tahu ada yang tidak beres. Aku tak dapat mengabaikannya begitu saja. Jadi, aku berbicara pada Jesse sebagai pemilik sah Tigress dan mengatakan kepadanya selembut mungkin tentang apa yang kutemukan dan apa artinya.
Saat aku berbicara, Jesse menyentak menjauhiku, mungkin supaya aku tak dapat melihat wajahnya, tapi aku sudah dapat melihat wajahnya mulai muram saat ia berbalik. Aku duduk dan beralih pada Tigress, untuk memberi waktu bagi Jesse untuk menenangkan diri, lalu sambil mengelus wajah Tigress, aku membahas pilihan dengannya. Aku dapat membiopsi gumpalan itu, membiarkannya mati di rumah. Atau memberinya suntikan untuk menidurkannya selamanya.
Jesse mendengarkan dengan seksama dan mengangguk. Ia berkata, menurutnya Tigress sudah tidak sehat lagi dan ia tak mau kucingnya menderita. Ia mencoba begitu keras. Pasangan itu membuat hatiku trenyuh. Aku menawarkan untuk menelepon orangtuanya dan menjelaskan apa yang terjadi.
Jesse memberikan nomor telepon ayahnya. Aku menjelaskan kembali semuanya kepada ayahnya sementara Jesse mendengarkan dan mengelus kucingnya. Lalu kubiarkan sang ayah berbicara kepada anaknya. Jesse mondar-mandir dan menggerak-gerakkan tangan dan suaranya serak beberapa kali, tapi saat ia menutup telepon, ia menghadapku dengan mata kering dan berkata bahwa mereka telah memutuskan untuk membiarkan Tigress mati.
Tanpa debar, tanpa penolakan, tanpa histeris, hanya kepasrahan menerima hal yang tak terhindarkan. Namun dapat kulihat betapa ia menderita. Kutanyakan apakah ia ingin membawa Tigress pulang semalam untuk mengucapkan selamat tinggal. Ia menolak. Ia hanya ingin berdua dengan kucingnya selama beberapa saat.
Kutinggalkan mereka dan aku mengambil barbiturat yang akan kugunakan untuk menidurkan Tigress tanpa rasa sakit. Aku tak dapat mengendalikan air mata yang mengalir di wajahku, atau rasa sedih yang kurasakan di hatiku untuk Jesse, yang harus menjadi dewasa begitu cepat dan begitu kesepian.
Aku menunggu di luar ruang periksa. Beberapa menit kemudian ia keluar dan berkata ia sudah siap. Aku bertanya apakah ia ingin tetap bersama Tigress. Ia tampak kaget, tapi kujelaskan bahwa biasanya lebih mudah kalau orang melihat betapa damainya kucing itu mati daripada harus bertanya-tanya bagaimana kejadian sesungguhnya.
Segera setelah menyadari betapa masuk akalnya hal itu, Jesse memegang kepala Tigress dan menghiburnya sementara aku menyuntiknya. Tigress pun terlelap, kepalanya dibuai dalam genggaman Jesse.
Kucing itu kelihatan tenteram dan damai. Pemiliknyalah yang kini menderita. Ini hadiah terbaik yang dapat kau berikan, kataku, dengan mengambil alih rasa sakit makhluk lain supaya yang kau cintai dapat beristirahat.
Ia mengangguk. Ia mengerti.
Namun, ada yang kurang. Aku merasa tugasku belum selesai. Mendadak aku sadar bahwa meskipun aku telah memintanya langsung menjadi dewasa, dan ia telah melakukannya dengan baik dan kuat, ia masih seorang anak remaja.
Aku mengulurkan tanganku dan bertanya apakah ia ingin dipeluk. Ia ingin dipeluk, dan sebenarnya, aku juga memerlukan pelukan itu.
Judith S. Johnesse
(Chicken Soup, for the Teenage Soul)
(Chicken Soup, for the Teenage Soul)
No comments:
Post a Comment