Pertama-tama, katakan pada dirimu apa yang akan kau raih; lalu lakukan apa yang perlu kau lakukan
Aku tak menyangka absennya kaos kaki bau dan musik yang disetel keras-keras akan membuat hatiku sakit. Tapi abangku kuliah di kota lain, dan pada saat usia 14 tahun, aku sangat merindukannya. Kami bersaudara sangat dekat. Mungkin ini mengherankan, tapi abangku memang orang yang langka. Tentu saja ia pandai dan baik hati, dan kata temanku ia tampan dan sebagainya. Tapi yang membuatku bangga adalah karena caranya menangani masalah, caranya memperlakukan teman dan keluarganya, caranya memperhatikan orang. Hal semacam itulah yang ingin kuperoleh. Kalau kau tak keberatan, aku ingin menunjukan apa yang kumaksud…
Ia mendaftar ke 14 universitas. Ia diterima di semuanya kecuali satu, yang ia inginkan, Universitas Brown. Jadi ia mengambil pilihan keduanya, dan tahun pertamanya berjalan baik tapi tak banyak kejadian menarik. Waktu ia pulang dalam liburan musim panas, ia memberitahu kami bahwa ia telah menyusun rencana. Ia akan melakukan apa saja untuk bisa masuk ke Brown. Apakah kami mau mendukungnya?
Rencananya adalah pindah ke Rhode Island di dekat Brown, mencari pekerjaan, dan melakukan apa saja agar dikenal di daerah itu. Ia akan bekerja membanting tulang, katanya, dan melakukan semuanya sebaik mungkin. Seseorang, ia yakin, akan melihatnya. Ini masalah besar bagi orangtuaku karena itu berarti menyetujui setahun tanpa kuliah, sesuatu yang menakutkan mereka. Tapi mereka mempercayainya dan mendorongnya melakukan apa yang menurutnya perlu dilakukan untuk mencapai cita-citanya.
Tak lama kemudian ia ditarik untuk memproduksi drama di―ya, benar sekali―Brown. Sekarang tiba kesempatannya untuk bersinar, dan ia pun bersinar. Tak ada pekerjaan yang terlalu besar atau terlalu kecil. Ia mengabdikan seluruh dirinya pada pekerjaan itu. Ia bertemu dengan dosen dan petugas administrasi, berbicara pada semua orang tentang cita-citanya dan tak pernah ragu mengatakan apa yang dikejarnya.
Dan benar saja, pada akhir tahun, waktu ia mendaftar kembali ke Brown, ia diterima.
Kami semua sangat gembira, tapi bagiku, kebahagiaan ini sangat dalam. Aku memperoleh pelajaran penting―pelajaran yang tak mungkin diajarkan dengan kata-kata, pelajaran yang harus kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Kalau aku bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kuinginkan, kalau aku tetap mencoba setelah ditolak, cita-citaku juga dapat terwujud. Inilah pemberian yang masih kugenggam dalam hatiku. Berkat abangku, aku percaya akan kehidupan.
Baru-baru ini aku terbang ke Rhode Island sendirian untuk mengunjunginya, dan aku senang sekali tinggal di sana seminggu dalam apartemen, tanpa orangtua. Malam sebelum aku pulang, kami mengobrol tentang berbagai hal, misalnya pacar, tekanan teman-teman sebaya, dan sekolah. Pada satu saat, abangku memandang mataku dan berkata ia menyayangiku. Ia menyuruhku agar selalu ingat untuk tidak melakukan apa pun yang kurasa tidak benar, apa pun juga, dan untuk tidak lupa bahwa aku selalu dapat mempercayai hatiku.
Aku menangis dalam perjalanan pulang, mengetahui bahwa aku dan abangku akan selalu dekat, dan menyadari betapa beruntungnya aku memilikinya. Ada yang berbeda: aku tak merasa seperti anak kecil lagi. Sebagian diriku telah menjadi dewasa dalam perjalanan ini dan untuk pertama kalinya aku memikirkan pekerjaan penting yang menungguku di rumah. Soalnya, aku mempunyai adik perempuan berusia 10 tahun. Rasanya, sudah jelas aku berkewajiban mendidiknya. Tapi kamu tahukan, aku sudah punya guru yang hebat.
Lisa Gumenick
No comments:
Post a Comment