Wednesday, 8 April 2015

Hari Lahir



Saat aku duduk di kursi di samping jendela dan merasakan sinar matahari juni yang hangat di lenganku, aku harus mengingatkan diri sendiri di mana aku berada. Sulit dipercaya bahwa di belakang perabot jati yang berpelitur bagus itu tersembunyi bermacam-macam peralatan medis, dan dalam sekejap langit-langit dapat disingkirkan, memperlihatkan lampu operasi. Selain beberapa alat dan kereta infus di sebelah tempat tidur, ruangan ini tidak mirip kamar rumah sakit. Selagi memandang perabot dan kertas dinding yang dipilih dengan seksama, aku teringat kembali pada hari itu, tak lama sebelum ini, saat petualangan ini dimulai.
Hari itu hari Oktober yang dingin. Regu hoki kami baru memenangkan pertandingan 2-1 melawan Saratoga. Aku terhempas, lelah tapi gembira, ke dalam mobil kami. Seraya meninggalkan sekolah, ibuku mengatakan bahwa ia pergi ke dokter hari itu. “Buat apa?” tanyaku, menjadi gugup, memikirkan segala penyakit yang mungkin diderita ibuku.
“Yaaah…” Ia ragu-ragu dan rasa khawatirku bertambah. “Ibu hamil.”
“Apa?” seruku.
“Hamil,” ulangnya.
Aku tak dapat berkata-kata. Aku duduk di dalam mobil itu dan yang dapat kupikirkan hanyalah kejadian seperti ini mestinya tidak terjadi pada orangtuamu kalau kamu sudah duduk di kelas 2 SMU. Lalu mendadak aku menyadari bahwa aku harus membagi ibuku dengan orang lain. Ibuku yang seluruhnya milikku selama 16 tahun. Aku merasa kesal dan bingung menghadapi manusia kecil yang bersarang di dalam perut ibuku. Aku tak mau ibuku mempunyai anak lain setelah ia menikah kembali. Ini perasaan yang egois, tapi kalau menyangkut ibuku, aku tak mau membagi bagian dirinya yang terkecil sekalipun.
Waktu kulihat rasa kaget dan bahagia dalam mata ayah tiriku saat ia diberitahu tentang bakal kehadiran anak pertamanya, aku merasa ikut senang. Aku tak sabar memberitahu semua orang dan kebahagiaanku terlihat dari luar. Tapi di dalam, aku coba mengatasi rasa takut dan marahku.
Orangtuaku melibatkanku dalam semua persiapan, mulai dari menghias kamar bayi sampai memilih nama, sampai menghadiri kelas Lamaze dan memutuskan bahwa aku boleh menghadiri kelahiran bayi itu. Tapi, meskipun kehamilan ini membawa kebahagiaan dan kesenangan , rasanya sulit mendengarkan teman-teman dan saudaraku selalu membicarakan bayi baru itu. Aku takut aku akan tersingkir saat bayi itu tiba. Kadang-kadang, saat aku sendirian, semua kebencian pada yang akan diambil anak ini dariku akan melebihi rasa senangku.
Duduk di ruang bersalin pada tanggal 17 Juni itu, mengetahui bahwa bayi itu sebentar lagi akan tiba, aku merasakan semua rasa tak amanku muncul ke permukaan. Hidupku akan seperti apa nanti? Apakah akan menjadi pengasuh bayi yang tak henti? Apa yang harus kukorbankan? Yang paling penting, apakah aku akan kehilangan ibuku? Waktu untuk merenung dan khawatir dengan cepat menguap. Bayi itu sebentar lagi datang.
Sungguh pengalaman paling luar biasa dalam hidupku, berada dalam ruang bersalin hari itu, karena kelahiran benar-benar suatu keajaiban. Waktu dokter menyatakan bahwa bayinya perempuan, aku menangis. Aku memiliki seorang adik perempuan.
Semua rasa takut dan tak amanku sudah hilang sekarang, dengan bantuan sebuah keluarga yang hangat dan penuh pengertian. Aku tak dapat menjelaskan betapa istimewanya memiliki seorang adik kecil yang menunggu bersamaku setiap pagi sampai jemputan bus sekolah datang dan, saat Mama memangkunya di jendela, melambaikan tangan kecilnya. Senang sekali rasanya pulang ke rumah dan ia sudah menarikku, mengajakku bermain dengannya bahkan sebelum aku sempat menanggalkan jaket.
Aku sadar sekarang terdapat banyak cinta dalam rumahku untuk Emma. Kebencianku karena menyangka ia akan merampas sesuatu dari hidupku telah terhapuskan saat aku menyadari bahwa ia tak mengambil apa-apa, malah membawa banyak hal ke dalam hidupku. Aku tak menyangka aku dapat mencintai bayi sebesar ini, dan aku tak akan mau menukar kebahagiaan yang kudapatkan karena menjadi kakaknya dengan apa pun.
Melissa Esposito
(Chicken Soup, for the Teenage Soul)

No comments:

Post a Comment