Sunday, 5 April 2015

Cinta SMU yang Tak Terlupakan



Manakala dia berjalan melintasi halaman sekolah, semua siswa pasti melihatnya, melihat Bruce. Tubuhnya tinggi semampai. Dia duplikat James Dean, tapi lebih kurus. Rambutnya disisir ke belakang di atas keningnya, dan alis matanya selalu melenting ke atas saat dia tengah asyik bercakap-cakap. Bruce seorang pemuda yang lembut, penuh perhatian, dan pandai. Dia tak pernah menyakiti hati orang lain.
Aku takut padanya.
Aku baru saja putus dengan pacarku yang tak begitu pintar. Dengannya aku putus dan menyambung sekitar 30 kali karena sudah menjadi kebiasaan buruk. Pagi itu Bruce menemaniku berjalan melintasi kampus. Dia membawakan bukuku dan membuatku tertawa geli. Aku menyukainya, dan sangat menyukainya.
Dia membuatku takut karena dia pandai. Tetapi, pada akhirnya, aku sadar bahwa aku lebih takut pada diriku sendiri ketimbang padanya.
Kami semakin sering berjalan bersama di sekolah, aku sering menatapnya dari lokerku yang penuh barang. Jantungku berdebar kencang, bertanya-tanya apakah ia akan menciumku. Kami sudah berkencan beberapa minggu ini dan dia belum pernah sekalipun mencoba menciumku.
Dia hanya menggandengku, merangkulku, dan mengantarku ke kelas sambil membawakan bukuku. Saat buku itu kubuka, di dalamnya ada sepucuk surat pendek yang diguratkan dengan tulisannya yang sangat indah. Isinya menyatakan cinta dan perasaan dengan makna yang belum sepenuhnya kupahami pada usiaku yang 17 tahun itu.
Dia mengirimiku buku, kartu, surat-surat pendek, dan duduk menemaniku di rumah selama berjam-jam, mendengarkan musik. Terutama dia senang kalau aku mendengarkan lagu “You Brought Some Joy Inside My Tears” (kau Mendatangkan Kebahagiaan dalam Air Mataku) yang dinyanyikan Stevie Wonder.
Suatu hari di tempat kerja aku menerima kartu darinya yang bertuliskan, “Aku rindu padamu saat sedih. Aku rindu padamu saat aku kesepian. Tetapi, aku paling merindukanmu saat aku sedang bahagia."
Aku masih ingat berjalan di desa kami yang kecil, mobil-mobil membunyikan klakson, lampu-lampu pertokoan mengundang pejalan kaki untuk masuk, menghindar dari udara dingin di luar. Tetapi, yang kupikirkan adalah, “Bruce paling kangen denganku saat dia merasa bahagia. Aneh sekali.”
Aku merasa sangat tidak nyaman dengan semangat romantis seperti itu di sisiku, seorang remaja―benar-benar sudah dewasa pada usia 17―yang mengungkapkan pikirannya dengan bijaksana, yang mendengarkan semua pihak dalam suatu perdebatan, yang suka membaca puisi sampai larut malam, dan mempertimbangkan keputusannya dengan hati-hati. Aku bisa merasakan kesedihan mendalam pada dirinya, tapi tak bisa memahaminya. Jika menengok lagi ke saat itu, mungkin kesedihannya terutama diakibatkan karena dia merasa tidak cocok dengan struktur sekolah menengah.
Hubungan kami sungguh sangat berbeda dengan hubunganku dengan pacarku yang terdahulu. Dengan pacar yang lama, kami sering nonton film, makan popcorn, dan bergosip ria. Kami sering putus dan berkencan dengan orang lain. Kadang-kadang rasanya seluruh sekolah memusatkan perhatian pada putusnya hubungan kami, yang selalu heboh dan merupakan hiburan besar untuk dijadikan bahan diskusi teman-teman kami. Opera sabun yang hebat.
Aku sering membicarakan tentang semua ini dengan bruce. Setiap kali bercerita, Bruce selalu memelukku dan mengatakan bahwa dia akan sabar menungguku menyelesaikan semua persoalan itu. Lalu dia membacakan sesuatu padaku. Dia memberiku buku The Little Prince yang kata-katanya sudah digarisbawahi, “Hanya dengan mata hatilah kita bisa melihat sesuatu dengan benar.”
Untuk menanggapinya―satu-satunya cara yang kuketahui―aku menulis sajak dan surat cinta yang mesra, dengan kedalaman yang belum pernah kuketahui sebelumnya. Tapi aku tetap membangun tembok pemisah dan menjaga jarak karena aku takut kalau-kalau dia akan mendapatkan bahwa aku ini palsu, bahwa aku tidaklah secerdas atau sebijaksana dirinya.
Aku menginginkan kebiasaan lama, mengunyah popcorn, menonton film, dan bergosip ria. Semua itu jauh lebih mudah. Aku ingat betul saat aku dan bruce berdiri di luar, di udara yang dingin, dan aku memberi tahu bahwa aku akan kembali kepada pacar lamaku.. “Dia lebih membutuhkanku,” kataku. “Kebiasaan lama sulit dihilangkan.”
Bruce memandangku dengan sedih, kesedihan yang lebih ditujukan kepadaku daripada dirinya. Dia tahu, dan aku juga tahu, bahwa aku telah mengambil jalan yang salah.
Tahun-tahun berlalu. Bruce lebih dulu melanjutkan ke perguruan tinggi, lalu aku juga. Setiap kali pulang untuk merayakan Natal, aku selalu mengunjunginya dan keluarganya. Aku selalu menyukai keluarganya―mereka menyambutku dengan hangat saat mengajakku masuk ke dalam rumah, dan selalu gembira melihat kedatanganku. Dari sikap keluarganya pun aku tahu bahwa Bruce sudah memaafkan kesalahanku.
Pada suatu hari Natal, Bruce berkata padaku: “Kamu penulis yang baik. Tulisanmu bagus sekali.”
“Betul.” Ibunya mengangguk setuju. “Tulisanmu indah sekali. Sayang kalau tidak diteruskan.”
“Tapi, dari mana Tante tahu tulisan saya?” aku bertanya pada ibunya.
“Oh, Bruce selalu menunjukan surat-suratmu pada Tante,” katanya. “Bruce dan Tante selalu mengagumi tulisanmu.”
Lalu, aku melihat ayahnya mengangguk. Aku tenggelam di kursi dan tersipu malu. Apa yang pernah kutulis dalam surat-surat itu?
Aku tidak tahu bahwa Bruce mengagumi tulisanku sebagaimana aku mengagumi kecerdasannya.
Selama bertahun-tahun kami tak pernah kontak. Berita terakhir yang kuterima dari ayahnya, Bruce pindah ke San Fransisco dan sedang mempertimbangkan untuk menjadi koki. Aku berpacaran berkali-kali sebelum akhirnya menikah dengan seorang pria istimewa―dan juga sangat pintar. Saat itu aku sudah lebih dewasa dan dapat menghadapi kecerdasan suamiku―terutama kalau dia mengingatkanku bahwa aku juga cerdas.
Tidak ada pacarku yang sering kuingat dengan penuh minat, selain Bruce. Dan aku sungguh mengharapkan hidupnya bahagia. Bruce pantas mendapatkannya. Aku merasa dia banyak membantuku membentuk kepribadianku, membantuku belajar menerima bagian dari diriku sendiri yang selalu kusangkal saat menonton film, mengunyah popcorn, dan bergosip ria. Dia mengajariku cara melihat semangatku dan kemampuanku sebagai penulis
Diana L.Chapman
(Chicken Soup, for the Teenage Soul)

No comments:

Post a Comment