Waktu remaja, aku seorang pemalu dan begitu juga pacarku. Kami duduk di kelas 1 SMU di sebuah
Akhirnya, ketika duduk di sofa di ruang duduk di rumahku, dia memutuskan untuk melakukannya, kami mengobrol tentang cuaca (sungguh), lalu dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Kututup mukaku dengan bantal untuk menghalanginya! Dia mencium bantal itu.
Aku ingin sekali dicium, tapi terlalu gugup untuk membiarkannya mendekat. Jadi, aku menjauh, ke ujung sofa. Dia bergerak mendekat. Kami mengobrol tentang film (siapa yang peduli!), dan dia mencondongkan tubuhnya lagi. Aku menghalanginya lagi.
Aku pindah ke ujung sofa. Dia terus mendekat, dan kami ngobrol lagi. Dia mencondongkan tubuhnya…dan aku berdiri! (waktu itu kakiku tentu kejang). Aku menghampiri pintu depan dan berdiri disitu, bersandar ke dinding sambil melipat tangan di dada, dan berkata dengan tak sabar, “Kamu mau cium aku nggak sih?”
“Mau” jawabnya. Maka aku pun berdiri tegak, memejamkan mata erat-erat, dan memonyongkan bibir, dan menengadahkan wajah. Aku menunggu…dan menunggu. (Mengapa dia belum mencium juga?) kubuka mataku, wajahnya sedang mendekatiku.
Aku tersenyum. DIA MENCIUM GIGIKU! Aku ingin mati saja.
Dia pulang. Aku bertanya-tanya apakah dia bercerita tentang kekonyolanku. Karena aku memang amat sangat pemalu, aku menyembunyikan diri selama dua tahun, dan karenanya aku tak pernah punya pacar lagi selama dua tahun terakhir di SMU. Bahkan, saat aku sedang berjalan di koridor sekolah, aku melihatnya atau pemuda lain mendekatiku, aku segera berbelok masuk ke ruangan terdekat sampai ia berlalu, Padahal mereka sudah kukenal sejak di Taman Kanak-Kanak.
Pada tahun pertama di perguruan tinggi, aku bertekad untuk menghilangkan sifat pemalu itu. Aku ingin belajar cara berciuman dengan penuh percaya diri dan anggun. Aku berhasil.
Pada musim semi, aku pulang. Aku datang ke tempat kumpul-kumpul anak muda, dan tebak siapa yang sedang duduk di bar? Tidak lain adalah teman berciumku yang dulu itu. Aku menghampiri kursi tempatnya duduk, dan menepuk bahunya. Tanpa ragu, aku memeluknya, mendorongnya sampai bebaring di pelukanku, lalu menciumnya dengan mantap. Aku membantunya duduk lagi, menatapnya dengan penuh kemenangan, dan berkata, “Nah, begitu!” Dia menunjuk wanita di sampingnya, dan berkata, “Mary Jane, kenalkan, ini istriku.”
Mary Jane, West-Delgado
(Chicken Soup, for the Teenage Soul)
(Chicken Soup, for the Teenage Soul)
No comments:
Post a Comment