Sunday, 5 April 2015

Dia Memberi Tahu, Menangis itu Tak Apa-apa

Bersahabat dekat dengan seseorang itu membutuhkan banyak pengertian, waktu, dan rasa percaya. Dengan semakin dekatnya masa hidupku yang tak pasti, teman-temanku adalah hartaku yang paling berharga
Erynn Miller, usia 18



Setelah berpisah bertahun-tahun, aku bertemu lagi dengannya tadi malam. Ia sengsara. Ia mengecat rambutnya, mencoba menyembunyikan warna aslinya, sama seperti penampilannya yang kasar menyembunyikan ketidakbahagiannya yang mendalam. Ia ingin mengobrol, jadi kami berjalan-jalan. Sementara aku memikirkan masa depanku, formulir pendaftaran perguruan tinggi yang baru tiba, ia memikirkan masa lalunya, rumah yang baru ditinggalkannya. Lalu ia bicara. Ia bercerita tentang pacarnya―dan aku pun melihat hubungan cinta yang bergantung pada seorang lelaki bertipe dominan. Ia bercerita tentang obat-obat terlarang―dan aku melihat bahwa obat adalah pelariannya. Ia bercerita tentang cita-citanya―dan aku melihat impian materi yang tidak realistis. Ia bercerita dirinya memerlukan seorang teman―dan aku melihat harapan, karena paling tidak aku bisa memberikannya kepadanya.
Kami dulu berkenalan di kelas 2 SD. Giginya baru tanggal, dan aku sedang merindukan teman-temanku. Aku baru saja pindah melintasi benua, menemukan ayunan besi yang dingin dan wajah mengejek yang dingin diluar pintu P.S 174, sekolah baruku. Aku bertanya padanya apakah aku boleh meminjam buku komik Archie miliknya, meskipun aku tak begitu suka komik; dia bilang boleh, meskipun dia tak begitu suka berbagi. Mungkin kami sama-sama mencari senyuman. Dan kami menemukannya. Kami menemukan seseorang untuk teman cekikikan waktu telah malam larut, seseorang untuk menghirup susu coklat hangat bersama di musim salju yang dingin saat sekolah diliburkan dan kami sering duduk berdua dekat jendela, memandang salju turun tiada henti.
Pada musim panas, di kolam renang, aku disengat lebah. Ia menggenggam tanganku dan mengatakan padaku bahwa dia akan menemaniku dan kalau aku mau menangis itu tak apa-apa―jadi aku pun menangis. Pada musim gugur, kami menyapu daun hingga menjadi tumpukan, lalu bergiliran, melompatinya tanpa merasa takut karena kami tahu bahwa kasur warna-warni itu akan menahan tubuh kami kalau kami jatuh.
Hanya sekarang, dia sudah jatuh dan tak ada yang menangkapnya. Kami sudah berbulan-bulan tidak mengobrol, dan kami sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Aku sudah pindah ke California, dan dia pindah dari rumahnya.
Pengalaman kami terpisahkan jarak bermil-mil, membuat hati kami berjauhan, lebih jauh dari benua yang baru dilintasinya. Melalui kata-katanya aku merasa terasing, tetapi melalui matanya aku merasakan kehausannya. Ia membutuhkan dukungan dalam usahanya mencari kekuatan dan awal baru. Ia memerlukanku sebagai temannya. Jadi aku menggenggam tangannya dan mengatakan bahwa aku akan menemaninya dan kalau ia mau menangis, itu tak apa-apa―dan diapun menangis.
Daphna Renan
(Chicken Soup, for the Teenage Soul)

No comments:

Post a Comment